Stasiun televisi di Indonesia punya masalah dalam mengenali tanggung jawab sosialnya, terutama terhadap anak-anak. Padahal, anak adalah bagian dari publik yang juga punya hak atas informasi yang sehat. Anak punya hak untuk tumbuh dengan sehat melalui situasi sosialnya yang mendukung proses belajar dan berkembang mereka.
Pengabaian terhadap hak anak terlihat pertama-tama dengan minimnya tayangan yang khusus ditujukan untuk anak. Anak-anak dipaksa untuk menonton tayangan yang bukan ditujukan untuk kebutuhan usianya. Bahkan, tayangan yang dimaksudkan untuk anak-anak sekalipun, seringkali juga mengandung muatan yang tidak pas: kekerasan, makian, kemunculan iklan dewasa (rokok, misalnya), atau hiburan berlebihan yang tidak memperhatikan aspek pendidikan.
Sinetron Biang Kerok Cilik (SCTV), misalnya. Remotivi mencatat, sedikitnya terdapat 49 adegan yang menampilkan kekerasan fisik dan 85 kalimat dialog mengandung kekerasan verbal dalam 7 episodenya. Dalam sehari, iklan rokok muncul di 10 stasiun televisi sebanyak 424 spots atau 22.018 detik.
Untuk mengatasi peraturan yang melarang siaran iklan rokok di bawah jam 21.30, industri rokok mengakalinya dengan membuat program beasiswa atau sponsor konser musik dan pertandingan olahraga. Tayangan inilah yang kemudian beriklan pada jam anak menonton atau tampil sebagai sebuah liputan berita. Strategi lain, untuk menjaring penonton remaja, disiarkanlah program televisi dengan sasaran remaja, yang rentang siarannya dimulai dari jam 20.00 atau 21.00 dan berakhir pada jam 21.30 ke atas sehingga iklan rokok sudah dimungkinkan untuk tampil.
Hal-hal tadi hanyalah contoh kecil dari apa yang diproduksi industri televisi swasta Indonesia. Meski ada kewajiban agar stasiun televisi menampilkan klasifikasi tayangan agar orang tua dapat mengetahui kepantasan sebuah tayangan bagi anaknya, namun tidak semua stasiun televisi melakukannya.
Kalaupun ada, klasifikasi yang disematkan juga sering tidak tepat atau ditampilkan dengan tidak cukup jelas.
Sebagaimana telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 14 ayat 1 dan 2 terkait perlindungan terhadap anak dalam produksi siaran televisi, serta UU Perlindungan Anak nomor 23 Tahun 2002 Pasal 3, stasiun televisi dibebani kewajiban untuk memperhatikan hak anak dan melindungi kepentingan anak. Apalagi, frekuensi yang digunakan oleh televisi adalah milik publik, di mana publik juga terdiri dari anak-anak, calon pemilik masa depan.
Karenanya, anak-anak tetap berhak untuk dilayani kebutuhannya oleh industri televisi, bukan? (Papa Carlo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar