Beberapa hari terakhir medsos digegerkan dengan berita anak usia 6 tahun yang dirawat di salahsatu Rumah Sakit Jiwa di Jakarta karena terlalu diforsir ikut les. Terlepas dari kebenaran berita tersebut, kita jadikan saja berita tersebut sebagai momen untuk mengingat kembali bahwa anak kita adalah amanah Tuhan yang membawa takdirnya sendiri.
Seandainya anak kita adalah benda berharga yang sangat mahal milik ratu Inggris yang dititipkan pada kita, tentu kita akan menjaganya dengan sangat baik, bahkan tak boleh ada satu gorespun bekas debu yang tampak ketika kita mengembalikannya.
Bagaimana dengan anak kita? Anak kita adalah titipan Maha Raja yang lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini. Tentu kita ekstra keras menjaganya agar saat dikembalikan, ia dalam keadaan terbaik (BEST) sebaik saat dititipkan. Baik apanya? Baik iman dan akhlaknya (BEHAVE), baik hatinya (EMPHATIC) baik otaknya (SMART), dan baik fisik maupun jiwanya (TOUGH).
Urutannya memang demikian. Secara perkembangan otak, matangkan emosi-empatinya (Behave-Emphatic) dulu karena batang otak dan sistem limbik sebagai pusat insting dan emosi butuh dikembangkan sejak usia 0-7 tahun. Setelah usia 7 tahun, pusat-pusat di neocortex bersambungan sempurna. Barulah kita mulai mematangkan neocortex yang merupakan pusat berpikir agar anak kita menjadi anak Smart.
Maka, menggegas anak di pusat berpikir terlalu dini (meskipun niat kita baik) menjadi tidak efektif dan menyalahi tugas kita sebagai orang yang dititipi amanah.
Anak yang digegas rentan menjadi anak BLAST –Bored Lonely Angry Afraid Stress Tired. Bosan (Bored) karena ketika otak anak belum siap menerima kegiatan belajar, ia menjalaninya dengan ‘terpaksa’ dan suatu saat nanti akan mencapai klimaksnya. Lonely (kesepian) jiwanya karena orangtuanya tidak mengenal perasaannya meskipun orangtuanya selalu ada disampingnya. Setiap anak pasti sangat ingin membahagiakan orangtuanya sehingga ia akan melakuan segala cara agar orangtuanya bangga terhadapnya. Saat orangtuanya ‘menuntut’ ia bisa ini dan itu, anak merasa Angry-Afraid (marah atau ketakutan). Marah dan ketakutan jika ternyata dirinya mengecewakan. Akhirnya ia menjalani saja terus rutinitas yang melelahkan otak dan jiwanya tersebut. Hingga akhirnya ia merasa tertekan (Stress) dan lelah (Tired).
Anak yang bagaimana yang Tuhan titipkan? Dan dalam keadaan seperti apa anak kita diinginkan kembali ke tanganNya?
Anak kita adalah amanah yang membawa takdirnya sendiri. Kita hanyalah fasilitator yang ditugasi memastikan ia mengenal tempat kembalinya : Tuhan. Kita hanyalah babysitter terpilih yang ditugasi memenuhi kebutuhannya agar baik fisik dan jiwanya. Tak lebih dari itu. Kita tidak diberi mandat menentukan jalan hidupnya.
Oleh karenanya, seperti kita terus mengenali diri sendiri dan jalan hidup yang digariskan Tuhan pada kita, kita hanyalah fasilitator yang mengawal anak kita agar ia menemukan jalan hidupnya sendiri. Kita sama sekali tidak punya mandat memilihkan jalan hidup anak kita.
Lalu, bagaimana agar kita menjadi fasilitator yang baik?
Agar kita menjadi fasilitator yang baik, terus mengenal diri sendiri dan mengenal anak kita menjadi sangat penting. Mengenal perasaannya, mengenal kecenderungannya, mengenal pola pikirnya, mengenal kemampuannya, mengenal tingkat dan jenis kecerdasannya, mengenal gaya belajarnya, dan segala seluk beluk tentang dirinya.
Akhirnya, kita menyadari tugas sebagai fasilitator adalah tanggungjawab yang sangat serius Olehkarena itu, rasanya kita tidak lagi bisa menggunakan gaya populer : mensubkontrakkan pendidikan anak kita ke tangan orang lain, karena kita lah yang dipilih menjadi guru pertama malaikat kecil yang selalu kita bangga-banggakan itu.
Mari kita kembali pada konsep “rumah adalah tempat pendidikan, sekolah adalah tempat pembelajaran”. Sudah cukup kita melihat bukti nyata bahwa banyak orang-orang terpelajar namun tidak terdidik.
Mengenang kemarin (25 November) adalah hari guru, mari kita jadikan guru sekolah anak kita sebagai partner pendidik anak. Ingat, partner. Jalin komunikasi yang baik dan efektif dengan mereka, namun jangan bebani mereka menjadi pendidik utama anak-anak kita. Bayangkan, ia harus menjaga 20-40 anak lainnya dalam satu kelas! Kita tetaplah guru utama anak-anak kita.
Anak kita adalah amanah. Sejatinya ia bukanlah milik kita. Bukan semata-mata hadiah, apalagi sebagai indikator keberhasilan. Dalam suatu pepatah, our children is not our report card. Bukan. Ia adalah titipan penciptaNya yang kelak akan diambil kembali. Kita sebagai pihak yang dititipi akan diminta pertanggungjawaban atas titipan tersebut.
Semoga kita masih tetap amanah terhadap titipanNya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar